"Mencintai seseorang itu bukan cuma menyukai kepribadian orang itu aja, tapi juga mencintai paketnya. Nggak bisa kamu cuma suka ke anaknya aja, tapi kamu juga harus nerima orang tuanya, temen-temennya, keluarga sama lingkungannya. Itu namanya mencintai sepaket."
Aku suka dengan konsep 'paket' ini. Terlebih dengan caramu mempraktekkannya. Aku bukan orang yang mudah percaya diri, kau pun tau itu minus dari 'paket'ku. Tapi kau selalu bilang, "selama minus dari paket itu bisa diubah jadi lebih baik, kenapa nggak? Ayo saling memperbaiki 'paket' kita masing-masing." Jawabanmu selalu melegakan, dan selalu dapat diterima olehku. Tidak menyalahkan, justru membantu memperbaiki.
Kata siapa menerima 'paket' orang itu mudah? Aku pun masih perlu banyak belajar untuk menerima 'paket'ku sendiri, disamping menerima 'paket'mu. Semua orang tau kau baik dengan siapapun. Dengan teman-temanmu, dengan mantanmu, bahkan dengan perempuan yang telah membuatmu menangis sekalipun. Itu paketmu. Aku tau kau sangat menghargai mereka. Aku yakin kau juga pasti tau bagaimana cemburunya seorang perempuan. Tapi lagi-lagi penjelasanmu bisa diterima oleh nalarku untuk membuatku tidak khawatir dan salah paham.
Kita punya konsep yang berbeda tentang bagaimana menempatkan seseorang dalam hidup kita. Kau mengibaratkan dirimu dengan 'rumah'. Siapapun boleh bertamu ke 'rumah'mu. Ada tamu yang kau jamu di ruang tamu, ada yang kau persilakan untuk masuk sampai ke dapurmu, dan ada juga tamu yang kau izinkan menginap dan membantumu menjaga rumah. Tamu spesial rupanya.
"Trus gimana kalo tamu spesialmu itu pengen pergi?".
"Aku nggak akan maksa dia untuk tetap tinggal kalo memang dia pengen pergi."
"Trus gimana kalo dia mau balik lagi ke rumahmu?"
"Ya akan tetep aku jamu, aku izinkan masuk, meskipun sakit. Tapi mungkin akan berbeda caraku menjamu, nggak seperti yang dulu. Bahkan ketika aku kedatangan tamu spesial yang lain, aku bakal jelasin kalo sebelumnya ada tamu yang mau bantuin aku menata rumah ini. Kayak misalnya, meja ini dia yang bantu pasang disini, atau stiker ini dia yang bantu pasang disitu. Selama tatanan dia menurutku baik buat aku, ya akan aku pertahankan. Tapi kalo aku mulai merasa perlu aku ubah, ya aku ubah. Misalnya lagi, tamuku itu dateng lagi, sedangkan aku kedatangan tamu spesial lain di dalam. Aku bakal jelasin ke dia, kalau sekarang sudah ada orang lagi yang mau membantuku menata rumah. Itu caraku menghormati tamu-tamuku. Kewajibanku cuma menjadi tuan rumah yang baik."
Kosep 'rumah'mu berbeda dengan milikku rupanya.
"Aku nggak bisa kayak kamu. Kalo diibaratkan rumah dan tamu, mungkin sekarang kamu yang jadi tamu spesialku. Tapi ketika kamu memutuskan untuk pergi, aku akan menutup pintuku. Aku akan fokus membenahi rumahku sendiri, mencari tau kira2 apa yang membuat tamu spesialku tidak betah dan pergi. Aku bakal buka lagi pintuku ketika aku sudah siap. Sekalipun tamuku itu kamu."
"Wah ya nggak bisa kayak gitu, itu namanya kamu menutup pintu kasih sayang Allah buat kamu. Gimana kalo ternyata ada tamu yang mau nganterin titipannya Allah, tapi kamunya ngunci pintu?"
"Aku bakal tutup pintu. Allah pasti tau kapan aku siap nerima tamu lagi."
"Loh sekarang gini deh, ibaratnya kamu buka toko, ada pembeli mau beli cutter. Tokomu ngga jual cutter, trus kamu mau bilang apa?"
"Ya bilang aja nggak jual."
"Gini gini, kalo kamu kayak gitu, kira-kira dia bakal mampir ke tokomu lagi nggak? Kecil peluangnya. Beda lagi kalo kamu bilang 'stoknya lagi habis, datang lagi besok ya'. Orang itu bakal berpeluang balik lagi ke tokomu karena kamu jual barangnya, cuma memang waktu itu stoknya habis. Aku cuma nggak mau kamu melewatkan kesempatan yang Allah kasih ke kamu."
"Konsep yang ini biar aku pegang konsepku sendiri ya? Kalo kamu memang mau pergi, nggakpapa pergi aja. Live your life and i live mine."
"Aku nggak bisa. Aku tetep masih punya tanggung jawab untuk itu. Aku nggak mau jadi penyebab kamu nutup pintu."
Dari sekian banyak konsep yang kita buat, mungkin ini yang belum benar-bener bisa diterima nalarku dan hatiku..
Aku suka dengan konsep 'paket' ini. Terlebih dengan caramu mempraktekkannya. Aku bukan orang yang mudah percaya diri, kau pun tau itu minus dari 'paket'ku. Tapi kau selalu bilang, "selama minus dari paket itu bisa diubah jadi lebih baik, kenapa nggak? Ayo saling memperbaiki 'paket' kita masing-masing." Jawabanmu selalu melegakan, dan selalu dapat diterima olehku. Tidak menyalahkan, justru membantu memperbaiki.
Kata siapa menerima 'paket' orang itu mudah? Aku pun masih perlu banyak belajar untuk menerima 'paket'ku sendiri, disamping menerima 'paket'mu. Semua orang tau kau baik dengan siapapun. Dengan teman-temanmu, dengan mantanmu, bahkan dengan perempuan yang telah membuatmu menangis sekalipun. Itu paketmu. Aku tau kau sangat menghargai mereka. Aku yakin kau juga pasti tau bagaimana cemburunya seorang perempuan. Tapi lagi-lagi penjelasanmu bisa diterima oleh nalarku untuk membuatku tidak khawatir dan salah paham.
Kita punya konsep yang berbeda tentang bagaimana menempatkan seseorang dalam hidup kita. Kau mengibaratkan dirimu dengan 'rumah'. Siapapun boleh bertamu ke 'rumah'mu. Ada tamu yang kau jamu di ruang tamu, ada yang kau persilakan untuk masuk sampai ke dapurmu, dan ada juga tamu yang kau izinkan menginap dan membantumu menjaga rumah. Tamu spesial rupanya.
"Trus gimana kalo tamu spesialmu itu pengen pergi?".
"Aku nggak akan maksa dia untuk tetap tinggal kalo memang dia pengen pergi."
"Trus gimana kalo dia mau balik lagi ke rumahmu?"
"Ya akan tetep aku jamu, aku izinkan masuk, meskipun sakit. Tapi mungkin akan berbeda caraku menjamu, nggak seperti yang dulu. Bahkan ketika aku kedatangan tamu spesial yang lain, aku bakal jelasin kalo sebelumnya ada tamu yang mau bantuin aku menata rumah ini. Kayak misalnya, meja ini dia yang bantu pasang disini, atau stiker ini dia yang bantu pasang disitu. Selama tatanan dia menurutku baik buat aku, ya akan aku pertahankan. Tapi kalo aku mulai merasa perlu aku ubah, ya aku ubah. Misalnya lagi, tamuku itu dateng lagi, sedangkan aku kedatangan tamu spesial lain di dalam. Aku bakal jelasin ke dia, kalau sekarang sudah ada orang lagi yang mau membantuku menata rumah. Itu caraku menghormati tamu-tamuku. Kewajibanku cuma menjadi tuan rumah yang baik."
Kosep 'rumah'mu berbeda dengan milikku rupanya.
"Aku nggak bisa kayak kamu. Kalo diibaratkan rumah dan tamu, mungkin sekarang kamu yang jadi tamu spesialku. Tapi ketika kamu memutuskan untuk pergi, aku akan menutup pintuku. Aku akan fokus membenahi rumahku sendiri, mencari tau kira2 apa yang membuat tamu spesialku tidak betah dan pergi. Aku bakal buka lagi pintuku ketika aku sudah siap. Sekalipun tamuku itu kamu."
"Wah ya nggak bisa kayak gitu, itu namanya kamu menutup pintu kasih sayang Allah buat kamu. Gimana kalo ternyata ada tamu yang mau nganterin titipannya Allah, tapi kamunya ngunci pintu?"
"Aku bakal tutup pintu. Allah pasti tau kapan aku siap nerima tamu lagi."
"Loh sekarang gini deh, ibaratnya kamu buka toko, ada pembeli mau beli cutter. Tokomu ngga jual cutter, trus kamu mau bilang apa?"
"Ya bilang aja nggak jual."
"Gini gini, kalo kamu kayak gitu, kira-kira dia bakal mampir ke tokomu lagi nggak? Kecil peluangnya. Beda lagi kalo kamu bilang 'stoknya lagi habis, datang lagi besok ya'. Orang itu bakal berpeluang balik lagi ke tokomu karena kamu jual barangnya, cuma memang waktu itu stoknya habis. Aku cuma nggak mau kamu melewatkan kesempatan yang Allah kasih ke kamu."
"Konsep yang ini biar aku pegang konsepku sendiri ya? Kalo kamu memang mau pergi, nggakpapa pergi aja. Live your life and i live mine."
"Aku nggak bisa. Aku tetep masih punya tanggung jawab untuk itu. Aku nggak mau jadi penyebab kamu nutup pintu."
Dari sekian banyak konsep yang kita buat, mungkin ini yang belum benar-bener bisa diterima nalarku dan hatiku..
Comments
Post a Comment