Saya memang terhitung masih muda. Pengalaman saya belum sebanyak mereka, tidak cukup pantas rasanya membicarakan soal hidup. Bagaimana seharusnya hidup. Saya yakin ada banyak orang diluar sana yang hidupnya jauh lebih berat, atau lebih layak untuk diceritakan, dituliskan dalam blog, dibukukan, diambil pelajaran oleh banyak orang. Sering sekali saya memikirkan untuk itu, saya ingin bercerita banyak kepada dunia tentang hidup saya. Tapi kembali lagi, siapa lah saya? Sejauh ini saya bercerita lewat blog atau menuliskannya di note HP. Kadang terang-terangan saya ceritakan, kadang juga tidak. Saya tahu sejauh ini tidak ada tulisan saya yang bernilai edukasi. Tidak ada tulisan tentang korupsi, tentang peliknya politik, atau isu-isu apapun yang sering dibahas di kelas. Saya bukan penulis. Saya perlu menunggu sesuatu yang mendorong saya untuk menulis. Sayangnya sejauh ini, kesedihan yang banyak memotivasi saya untuk melakukannya. Kira-kira begitu penjelasan untuk hampir setiap tulisan saya di blog ini. Saya tidak berharap tulisan saya dibaca oleh banyak orang. Toh sedari awal saya menulis untuk diri saya sendiri. Meskipun kenyataannya blog ini bisa diakses semua orang. Iya, saya masih punya keinginan supaya tulisan saya dibaca oleh orang tertentu. Orang yang saya tuju, karena keterbatasan saya tidak bisa menjelaskan secara langsung. Kira-kira begitu pembukaan tulisan saya kali ini. Semoga bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu, orang-orang yang saya tuju.
Lagi, saya memang belum cukup umur dan pengalaman hidup. Tapi izinkan saya untuk membicarakan tentang apa yang saya pikirkan tentang hidup.
Pernah kepalamu ingin meledak ketika memikirkan sesuatu? Saya pernah. Sering malah. Mungkin karena tidak pernah saya tuliskan, pun tidak tahu bagaimana cara membagikannya ke orang lain. Dibiarkan mengendap di otak, kemudian menjadi bom waktu yang bisa tiba-tiba meledakkan otak saya. Penyebabnya sederhana saja; saya belum punya jalan keluarnya. Jalan keluar atas apa yang saya pikirkan. Saya belum pada kesimpulan. Dan saya tahu, saya masih terlalu muda untuk ada pada kesimpulan. Tapi siapa yang tahu umur manusia? Siapa yang tahu jika umur saya yang masih muda ini menjadi umur yang pantas untuk kembali menghadap? Saya hanya tidak tahu sampai kapan saya ada di dunia. Maka saya rasa saya perlu untuk berada pada kesimpulan.
Tentang hidup, yang selalu dikeluhkan, yang selalu dipertanyakan kenapa, yang seringkali susah untuk diterima. Kejadian itu sudah belasan tahun terjadi, tapi ternyata masih selalu diungkit dan dipermasalahkan. Bahkan efeknya jadi menyebar kemana-mana. Tidak terkendali. Terus begitu, sampai berat di hati, berat diotak. Seperti kopi, mengendap jika didiamkan, kemudian muncul lagi di permukaan ketika reflek mengaduknya, atau mengambil menggunakan sendok untuk melihat ampasnya. Kemudian menyesal, kenapa pula diaduk, sedangkan kopi lebih nikmat dinikmati tanpa ampasnya. Menunggu lagi ampasnya mengendap. Terus begitu, sampai akhirnya tidak ada waktu untuk menikmati kopi.
Kadang ada saja dari kejadian masa lalu yang tidak pernah bisa kita selesaikan. Tetap saja mengendap. Kesedihan, kemalangan, bahkan membawa hati pada dendam. Sakit memang, entah bagaimana menggambarkan sakitnya. Semua orang ingin dimengerti, tapi kita semua tahu tidak ada bisa melakukannya. Begitulah kenyataannya, sebagaimanapun dirimu mengelak. Tidak ada manusia yang bisa mengerti dirimu, kecuali dirimu sendiri. Tidak ada manusia yang bisa diandalkan, kecuali dirimu sendiri. Begitulah kenyataannya. Dan yang perlu kita lakukan adalah menerima. Itu saja.
Memulai untuk menerima. Tidak perlu terburu-buru. Sama seperti menunggu ampas kopi kembali mengendap. Pelan-pelan saja. Perlu bersabar dan ikhlas. Susah memang untuk ikhlas. Susah sekali. Mengiklaskan kenangan-kenangan buruk dalam hidup, tentu bukan hal yang mudah. Tapi dengan ikhlas, semua akan menjadi mudah bagimu. Karena begitulah kenyataannya. Tidak perlu berdebat agar orang lain mengalah. Kenapa tidak kita saja yang memulai untuk mengalah? Sungguh, mengalah bukan perihal kau kalah, bukan pula berarti kau salah.
Hidup bukan tentang kompetisi siapa yang menang dan kalah. Siapa yang benar dan salah. Tentu bukan. Hidup adalah tentang bagaimana kita menerima semuanya, dengan ikhlas. Ada benarnya apa yang dituliskan Tere Liye, mengalah adalah cara untuk berdamai dengan diri kita sendiri. Kita berhak untuk menerima kedamaian dalam hati. Mengalah, dengan tidak memaksakan ego sendiri, tidak memaksakan orang lain untuk menerima kita, pendapat kita, keputusan kita. Sungguh kita semua berhak untuk mengambil keputusan sendiri. Tapi orang lain tidak punya kewajiban untuk mengerti dan memahami apapun keputusan kita. Karena begitulah kenyataannya. Mengalah bukan berarti diam dan tidak melakukan apa-apa. Tapi menyerahkan semuanya pada yang memiliki kuasa. Kuasa untuk menyelesaikan semua, dengan sebaik-baiknya cara. Tidak perlu berdebat, tidak perlu saling ngotot meninggikan suara, tidak perlu dendam dengan masa lalu yang menyakitkan. Just, let it be..
Maka biarkan saja mengendap. Tidak perlu kau hilangkan ampasnya, toh itu bagian dari kopimu juga. Semua ini bagian dari hidupmu juga. Tidak ada yang tahu bagian mana yang membuatmu menjadi sehebat dirimu sekarang. Peluk erat semuanya. Nikmati saja kopinya. Dan rasakan betapa nikmat kopimu tanpa perlu kau khawatirkan ampasnya.
Lagi, saya memang belum cukup umur dan pengalaman hidup. Tapi izinkan saya untuk membicarakan tentang apa yang saya pikirkan tentang hidup.
Pernah kepalamu ingin meledak ketika memikirkan sesuatu? Saya pernah. Sering malah. Mungkin karena tidak pernah saya tuliskan, pun tidak tahu bagaimana cara membagikannya ke orang lain. Dibiarkan mengendap di otak, kemudian menjadi bom waktu yang bisa tiba-tiba meledakkan otak saya. Penyebabnya sederhana saja; saya belum punya jalan keluarnya. Jalan keluar atas apa yang saya pikirkan. Saya belum pada kesimpulan. Dan saya tahu, saya masih terlalu muda untuk ada pada kesimpulan. Tapi siapa yang tahu umur manusia? Siapa yang tahu jika umur saya yang masih muda ini menjadi umur yang pantas untuk kembali menghadap? Saya hanya tidak tahu sampai kapan saya ada di dunia. Maka saya rasa saya perlu untuk berada pada kesimpulan.
Tentang hidup, yang selalu dikeluhkan, yang selalu dipertanyakan kenapa, yang seringkali susah untuk diterima. Kejadian itu sudah belasan tahun terjadi, tapi ternyata masih selalu diungkit dan dipermasalahkan. Bahkan efeknya jadi menyebar kemana-mana. Tidak terkendali. Terus begitu, sampai berat di hati, berat diotak. Seperti kopi, mengendap jika didiamkan, kemudian muncul lagi di permukaan ketika reflek mengaduknya, atau mengambil menggunakan sendok untuk melihat ampasnya. Kemudian menyesal, kenapa pula diaduk, sedangkan kopi lebih nikmat dinikmati tanpa ampasnya. Menunggu lagi ampasnya mengendap. Terus begitu, sampai akhirnya tidak ada waktu untuk menikmati kopi.
Kadang ada saja dari kejadian masa lalu yang tidak pernah bisa kita selesaikan. Tetap saja mengendap. Kesedihan, kemalangan, bahkan membawa hati pada dendam. Sakit memang, entah bagaimana menggambarkan sakitnya. Semua orang ingin dimengerti, tapi kita semua tahu tidak ada bisa melakukannya. Begitulah kenyataannya, sebagaimanapun dirimu mengelak. Tidak ada manusia yang bisa mengerti dirimu, kecuali dirimu sendiri. Tidak ada manusia yang bisa diandalkan, kecuali dirimu sendiri. Begitulah kenyataannya. Dan yang perlu kita lakukan adalah menerima. Itu saja.
Memulai untuk menerima. Tidak perlu terburu-buru. Sama seperti menunggu ampas kopi kembali mengendap. Pelan-pelan saja. Perlu bersabar dan ikhlas. Susah memang untuk ikhlas. Susah sekali. Mengiklaskan kenangan-kenangan buruk dalam hidup, tentu bukan hal yang mudah. Tapi dengan ikhlas, semua akan menjadi mudah bagimu. Karena begitulah kenyataannya. Tidak perlu berdebat agar orang lain mengalah. Kenapa tidak kita saja yang memulai untuk mengalah? Sungguh, mengalah bukan perihal kau kalah, bukan pula berarti kau salah.
Hidup bukan tentang kompetisi siapa yang menang dan kalah. Siapa yang benar dan salah. Tentu bukan. Hidup adalah tentang bagaimana kita menerima semuanya, dengan ikhlas. Ada benarnya apa yang dituliskan Tere Liye, mengalah adalah cara untuk berdamai dengan diri kita sendiri. Kita berhak untuk menerima kedamaian dalam hati. Mengalah, dengan tidak memaksakan ego sendiri, tidak memaksakan orang lain untuk menerima kita, pendapat kita, keputusan kita. Sungguh kita semua berhak untuk mengambil keputusan sendiri. Tapi orang lain tidak punya kewajiban untuk mengerti dan memahami apapun keputusan kita. Karena begitulah kenyataannya. Mengalah bukan berarti diam dan tidak melakukan apa-apa. Tapi menyerahkan semuanya pada yang memiliki kuasa. Kuasa untuk menyelesaikan semua, dengan sebaik-baiknya cara. Tidak perlu berdebat, tidak perlu saling ngotot meninggikan suara, tidak perlu dendam dengan masa lalu yang menyakitkan. Just, let it be..
Maka biarkan saja mengendap. Tidak perlu kau hilangkan ampasnya, toh itu bagian dari kopimu juga. Semua ini bagian dari hidupmu juga. Tidak ada yang tahu bagian mana yang membuatmu menjadi sehebat dirimu sekarang. Peluk erat semuanya. Nikmati saja kopinya. Dan rasakan betapa nikmat kopimu tanpa perlu kau khawatirkan ampasnya.
Comments
Post a Comment